Protes SAFA dan Sikap KPU
PENETAPAN hasil Pemilihan Gubernur yang menempatkan Longki Djanggola-Sudarto (Longki’S) sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Sulteng 2011-2016, meski berjalan lancar, juga diwarnai protes. Protes datang langsung dari para kandidat. Salah satunya dari Faisal Mahmud yang bersama Sahabuddin Mustapa, bertarung dengan sebutan SAFA.
SAFA tak menolak kemenangan Longki’S, tapi memprotes penghitungan suara mereka yang berjalan aneh dan cenderung salah aturan. Masalahnya, hasil penghitungan suara pada tanggal 12 April, suara SAFA itu berkisar 148 ribu, eh anehnya, pada tanggal 16 justru turun menjadi 115 ribu lebih. Jadi pergerakan menurun sekitar 33 ribu suara.
Bila benar, tentu ini hal yang aneh dan ganjil. Di mana pun di negeri ini, serta dalam kontestasi Pemilu/pilkada apapun, pergerakan suara tak mungkin menurun, bahkan cenderung naik meski perlahan. Atau - sesial-sialnya – pergerakan terhenti (stagnan).
Faisal Mahmud-sang calon Wagub mengakui memiliki bukti-bukti tentang hal ini. Namun, bukti ini akan diungkap saat perkara ini di meja Panel Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang menyelesaikan perkara hukum hasil Pemilu/Pilkada.
Tak hanya kasus ini, Sahabuddin Mustapa – Sang Calon Gubernur mempermasalahkan, pemungutan suara di luar waktu yang ditetapkan, seperti di Kabupaten Banggai dan Sigi. Tentu hal ini melanggar aturan.
Bagi SAFA, demokrasi bukanlah sepotong roti yang harus dibagi-bagi karena siapapun pemenangnya, diyakini adalah putra terbaik Sulteng. Tapi bagaimana berdemokrasi secara bersih dengan memberikan pelajaran politik kepada masyarakat. Mengapa idealisme harus digadaikan hanya karena sepotong roti tersebut?
Anehnya, terhadap protes SAFA ini, KPU Sulteng hanya mempertontonkan sikap normatif. Menurut Patrisia Lamarauna, Anggota KPU Sulteng, peluang para kandidat untuk memprotes ada di tahapan sebelumnya, bukan pada saat penetapan. Bila para kandidat tak berkenan, silahkan menggugat secara hukum dan KPU siap meladeni.
Sikap ini tentu tak salah. Beleid memang membolehkan setiap sengketa hasil ke proses hukum melalui MK. Namun, meski sah secara hukum, tapi agak terasa ganjil bila setiap sengketa kepemiluan harus selalu melalui proses hukum. Bukankah, dengan proses hukum, sama saja dengan mengkonversikan suara rakyat ke dalam putusan hakim?
Sebagai pemenang Pilkada, tentu lebih “nikmat” bagi Longki’S, kemenangan mereka disahkan melalui tahapan Pilkada di mana kedaulatan rakyat menjadi kunci, dibanding suara panel sembilan hakim MK.
Pesan kita di sini jelas: Bila perkara hasil Pilkada bisa diselesaikan di luar proses hukum dengan mengedepankan semangat dialog dan transparansi serta akuntabilitas, mengapa harus melalui proses hukum yang panjang dan berliku? Apakah tidak lebih baik KPU Sulteng mengajak SAFA berdialog dalam kerangka solusi yang cespleng dan menenangkan, ketimbang menyilahkan ke proses hukum? Mengapa terlalu normatif, duhai komisioner?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar