SUARA REDAKSI
Saudara Bukan Dilotre
Saudara Bukan Dilotre
Wakil Rakyat, Saudara dipilih bukan dilotre. Inilah ungkapan
lagu Iwan Fals yang membawa pesan moral
terhadap sosok-sosok pembawa amanat suara negeri ini. Tapi kini wakil rakyat kita itu tak benar-benar kumpulan orang hebat. Wakil
Rakyat, lebih banyak diam ketimbang bicara dengan lantang. Wakil Rakyat, yang
tertidur pulas justru di saat sidang nasib kaum papa tengah diulas. Wakil
Rakyat, yang tak berani membuktikan kabar burung adanya korupsi di gedung wanita. Wakil rakyat
Provinsi yang hanya berani
memangil Kapolda untuk urusan mobil rental. Tapi tak berani memanggil Kapolda
untuk urusan kasus tragedy kemanusiaan seperti kasus Buol dan Tiaka.
Wakil rakyat kita di DPRD Kota Idem Dito. Mereka melakukan
debat kusir , saling ejek dan sumpah serapah. Mereka saling gugat untuk sebuah
kekuasaan. Ini sebuah ironi, mencederai nilai demokrasi. Demokrasi kita yang
sifatnya mufakat dipinggirkan.
Wakil Rakyat. Dua kata ini sekarang seolah menjadi barisan
kalimat yang klise dan berkonotasi negatif. Wakil Rakyat bahkan sering menjadi
bahan cibiran. Lantaran, sebagian dari mereka menyoreng institusi dengan selalu
bikin ulah dan berbuat tak senonoh.
Alih-alih memperbaiki citra di era reformasi setelah dikecam habis di masa Orde Baru, Wakil Rakyat sekarang justru makin mencederai amanat agung yang diberikan rakyat. Bukan hanya karena sering bolos dan dicap tidak produktif. Itu cerita klasik. Tapi sekarang, aneh-aneh saja yang dimintanya. Aneh dan selalu berujung dengan duit, duit, dan duit. Dan group Band Slank pun mencatat itu.
Permintaan dana aspirasi disepakati. Yang katanya, untuk kepentingan konstituen di daerah. Permintaan yang aneh, karena ternyata kedekatan antara rakyat dan wakilnya berjarak secara ideologi, dan mesti disambangi dari waktu ke waktu biar bergeming, tetap setia.
Inilah fakta ironi wakil rakyat kita. Pertama, para Wakil Rakyat rupanya memang tidak dekat dengan rakyatnya. Sebagai Wakil Rakyat seharusnya pro aktif menjemput bola, mencari dan mengumpulkan aspirasi, seperti ketika mereka berkampanye dulu, supaya rakyat memilihnya. Toh, mereka juga memiliki waktu khusus yang disebut masa reses. Saat ketika mereka harus turun ke daerah pemilihan masing-masing, menghampiri konstituennya, dan menyerap aspirasi dari sana. Sekarang tentu menjadi pertanyaan, apakah mereka terpilih karena betul-betul murni suara rakyat yang menghendakinya, atau karena kolusi politik semata?
Kedua, muncul kesan bahwa Wakil Rakyat ini memang ingin mengeruk uang rakyat. Kalaupun mereka betul-betul ingin mendirikan sebuah kantor penyerap aspirasi rakyat—atau apapun namanya, ya seharusnya jangan menggunakan uang rakyat lagi. Para Wakil Rakyat ini bukan bekerja gratisan. Gaji mereka juga tidak sedikit. Belum lagi ada yang namanya dana reses dan sebagainya.
Alih-alih memperbaiki citra di era reformasi setelah dikecam habis di masa Orde Baru, Wakil Rakyat sekarang justru makin mencederai amanat agung yang diberikan rakyat. Bukan hanya karena sering bolos dan dicap tidak produktif. Itu cerita klasik. Tapi sekarang, aneh-aneh saja yang dimintanya. Aneh dan selalu berujung dengan duit, duit, dan duit. Dan group Band Slank pun mencatat itu.
Permintaan dana aspirasi disepakati. Yang katanya, untuk kepentingan konstituen di daerah. Permintaan yang aneh, karena ternyata kedekatan antara rakyat dan wakilnya berjarak secara ideologi, dan mesti disambangi dari waktu ke waktu biar bergeming, tetap setia.
Inilah fakta ironi wakil rakyat kita. Pertama, para Wakil Rakyat rupanya memang tidak dekat dengan rakyatnya. Sebagai Wakil Rakyat seharusnya pro aktif menjemput bola, mencari dan mengumpulkan aspirasi, seperti ketika mereka berkampanye dulu, supaya rakyat memilihnya. Toh, mereka juga memiliki waktu khusus yang disebut masa reses. Saat ketika mereka harus turun ke daerah pemilihan masing-masing, menghampiri konstituennya, dan menyerap aspirasi dari sana. Sekarang tentu menjadi pertanyaan, apakah mereka terpilih karena betul-betul murni suara rakyat yang menghendakinya, atau karena kolusi politik semata?
Kedua, muncul kesan bahwa Wakil Rakyat ini memang ingin mengeruk uang rakyat. Kalaupun mereka betul-betul ingin mendirikan sebuah kantor penyerap aspirasi rakyat—atau apapun namanya, ya seharusnya jangan menggunakan uang rakyat lagi. Para Wakil Rakyat ini bukan bekerja gratisan. Gaji mereka juga tidak sedikit. Belum lagi ada yang namanya dana reses dan sebagainya.
Menjadi Wakil Rakyat, mestinya mempunyai semangat
memperjuangkan nasib rakyatnya dan menyejahterakan rakyatnya. Bukan
memperjuangkan kantongnya pribadi dan menyejahterakan dirinya sendiri.
Di hati dan lidahmu kami berharap, wahai Wakil Rakyat. Suara kami tolong dengar lalu sampaikan, wahai Wakil Rakyat. Karena di kantong safarimu kami titipkan, wahai Wakil Rakyat. Masa depan kami, dan negeri ini... Semoga saja potret lirik ala Iwan Fals masih mampu menggugah hati nurani Wakil Rakyat, untuk lebih mengerti tugas dan tanggung jawab yang diemban. Semoga saja...
Di hati dan lidahmu kami berharap, wahai Wakil Rakyat. Suara kami tolong dengar lalu sampaikan, wahai Wakil Rakyat. Karena di kantong safarimu kami titipkan, wahai Wakil Rakyat. Masa depan kami, dan negeri ini... Semoga saja potret lirik ala Iwan Fals masih mampu menggugah hati nurani Wakil Rakyat, untuk lebih mengerti tugas dan tanggung jawab yang diemban. Semoga saja...