Hutan Desa dan HKm Bisa Dijadikan Tapak REDD
PALU - Mungkin ini bisa menjadi satu alternatif bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam implementasi program Reducing Emission from Forest Deforestation and Degradation (REDD)+, atau program yang berupaya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang disebabkan perubahan fungsi hutan dan penurunan kwalitas hutan, pada 2012 nanti.
Jika sebelumnya banyak kekhawatiran tentang minimmya partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam program tersebut, maka kini kekhawatiran itu bisa dijawab. Hutan Desa (HD) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm) bisa jadi alternatifnya.
Haryadi Himawan, Direktur Bina Perhutanan Sosial Kementrian Kehutanan RI, dalam pemaparan materinya pada Workshop Media yang membahas tentang hutan kemasyarakatan dan REDD+, akhir pekan lalu di Hotel Santika Bogor Jawa Barat, mengatakan, kedua kategori hutan tersebut bisa menjadi tapak REDD (lahan yang akan dihitung jumlah karbonnya), yang dikelola masyarakat.
“Hutan kemasyarakatan itu adalah hutan negara yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan masyarakat setempat (di sekitar wilayah hutan-red) dan belum dibebani izin hak. Sedangkan hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa, tapi belum dibebani izin hak,” jelasnya.
Karena tujuannya untuk kelestarian hutan, maka untuk pengolahan kayu dalam dua kategori hutan tersebut masih dibatasi, kecuali mempunyai Izin Usaha Pengolahan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HKm dan IUPHHK HD.
Kata dia, kedua hutan tersebut harus diusulkan oleh masyarakat di wilayah sekitar hutan melalui kelembagaan mereka sendiri. Sementara untuk masuk dalam skema REDD+, masyarakat berhak menentukannya sendiri.
“Ini adalah peluang, tapi akan tergantung pada masyarakat. Apakan mau atau tidak,” katanya.
Untuk pengelolaan HD dan HKm sendiri kata dia, kegiatan yang diperbolehkan di anatarnya adalah pemanfaatan kawasan, pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
Di Sulteng sendiri menurut Kepala Dinas Kehutanan Sulteng, Nahardi, sudah ada 1 hutan desa dan 2 hutan HKm. “Hutan desa ada yang baru diferiviksi,yakni di Desa Namo, Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi. Luasnya kurang lebih 490 hektar,” katanya.
Sementara untuk HKm kata dia, ada di Desa Nambo Kabupaten Banggai dengan luas kurang lebih 500 hektar, dan di Kecamatan Pipikoro Kabupaten Sigi seluas kurang lebih 2.184,69 hektar. Ia menambahkan, saat ini ada beberapa kabupaten yang mengusulkan dan difasilitasi oleh Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Palu-Poso. (Sahril)
------------------------------------------------------------
Pemerintah Diminta Proteksi Ekspor Rotan
PALU- Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah diminta untuk memproteksi ekspor maupun pengiriman rotan antarpulau, sebab dikhawatirkan saat daerah ini siap mengekspor furnitur rotan justru kekurangan bahan baku.
"Iya. Itu kekhawatiran kita, saat daerah ini sudah siap ekspor mebel rotan, kita justru akan kesulitan bahan baku," kata Nurul Ratnawati, salah seorang pengrajin industri mebel rotan di Palu, Ahad (17/4).
Dia mengatakan, ancaman akan berkurangnya pasokan rotan di daerah ini tidak saja akibat perambahan rotan untuk kebutuhan industri tetapi juga akibat dari meluasnya pembukaan lahan industri perkebunan lainnya seperti perkebunan sawit dan kakao.
Meski Sulteng masih memimpin pasar produksi rotan terbesar di Indonesia, katanya, tetapi tidak menutup kemungkinan kawasan pertumbuhan rotan akan semakin sempit dan sewaktu-waktu bisa kehabisan bahan baku.
"Sementara untuk budi daya rotan baru bisa dipanen pada usia delapan tahun," kata Nurul yang juga tenaga instruktur kerajinan rotan di SMK Negeri 5 Palu itu.
Menurut dia, negara-negara tujuan ekspor saat ini sedang menyimpan stok rotan mereka untuk beberapa puluh tahun mendatang. China, kata dia, kabarnya sudah punya stok rotan untuk 10 tahun mendatang.
"Jangan sampai industri rotan kita bangkit, kita justru minta rotan dari China," kata alumni Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarya itu. Menurut dia, bahan baku rotan anyaman di Sulteng lebih mahal dibanding di pulau Jawa.
Nurul membeli dari industri rotan seharga Rp20 ribu per kilogram. Sementara di pulau Jawa kata dia masih bekisar Rp16 ribu hingga Rp18 ribu per kilogram.
Untuk menghasilkan kualitas tinggi, kata Nurul, industri kerajinan butuh standar rotan anyaman yang tidak boleh cacat. Anyaman rotan dan rangkanya harus simetris. Dari sisi "finishing" harus halus dan keserasian warna.
"Itu sudah standar, dan untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas kami harus membeli dari industri rotan kualitas ekspor," kata Nurul.
Masalahnya, kata dia, industri mebel di Sulteng kerap kehabisan stok rotan anyaman karena industri lebih mengutamakan ekspor.
Ia memperkirakan, Sulteng baru bisa melayani permintaan ekspor sekitar 10 tahun lagi, karena saat ini sedang dalam tahap proses penciptaan tenaga kerja terampil salah satunya melalui sekolah kejuruan rotan di SMK Negeri 5 Palu.
Sementara lulusan kriya rotan dari sekolah tersebut setiap tahunnnya hanya berkisar 30-40 orang.
Tahun 2009 sekolah ini meluluskan 25 orang. Tahun 2010, 39 orang dan tahun 2011 ini sekitar 45 orang. Lulusan kriya rotan tersebut kata Nurul sudah siap pakai di industri mebel rotan.
Menurut dia, jika Sulteng baru siap melayani ekspor kerajinan maka dalam rentang waktu itu tidak sedikit rotan yang keluar dari Sulteng baik diekspor maupun diantarpulaukan. (ANTARA)
----------------------------------------------------------------------------------------
PALU - Mungkin ini bisa menjadi satu alternatif bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam implementasi program Reducing Emission from Forest Deforestation and Degradation (REDD)+, atau program yang berupaya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang disebabkan perubahan fungsi hutan dan penurunan kwalitas hutan, pada 2012 nanti.
Jika sebelumnya banyak kekhawatiran tentang minimmya partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam program tersebut, maka kini kekhawatiran itu bisa dijawab. Hutan Desa (HD) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm) bisa jadi alternatifnya.
Haryadi Himawan, Direktur Bina Perhutanan Sosial Kementrian Kehutanan RI, dalam pemaparan materinya pada Workshop Media yang membahas tentang hutan kemasyarakatan dan REDD+, akhir pekan lalu di Hotel Santika Bogor Jawa Barat, mengatakan, kedua kategori hutan tersebut bisa menjadi tapak REDD (lahan yang akan dihitung jumlah karbonnya), yang dikelola masyarakat.
“Hutan kemasyarakatan itu adalah hutan negara yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan masyarakat setempat (di sekitar wilayah hutan-red) dan belum dibebani izin hak. Sedangkan hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa, tapi belum dibebani izin hak,” jelasnya.
Karena tujuannya untuk kelestarian hutan, maka untuk pengolahan kayu dalam dua kategori hutan tersebut masih dibatasi, kecuali mempunyai Izin Usaha Pengolahan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HKm dan IUPHHK HD.
Kata dia, kedua hutan tersebut harus diusulkan oleh masyarakat di wilayah sekitar hutan melalui kelembagaan mereka sendiri. Sementara untuk masuk dalam skema REDD+, masyarakat berhak menentukannya sendiri.
“Ini adalah peluang, tapi akan tergantung pada masyarakat. Apakan mau atau tidak,” katanya.
Untuk pengelolaan HD dan HKm sendiri kata dia, kegiatan yang diperbolehkan di anatarnya adalah pemanfaatan kawasan, pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
Di Sulteng sendiri menurut Kepala Dinas Kehutanan Sulteng, Nahardi, sudah ada 1 hutan desa dan 2 hutan HKm. “Hutan desa ada yang baru diferiviksi,yakni di Desa Namo, Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi. Luasnya kurang lebih 490 hektar,” katanya.
Sementara untuk HKm kata dia, ada di Desa Nambo Kabupaten Banggai dengan luas kurang lebih 500 hektar, dan di Kecamatan Pipikoro Kabupaten Sigi seluas kurang lebih 2.184,69 hektar. Ia menambahkan, saat ini ada beberapa kabupaten yang mengusulkan dan difasilitasi oleh Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Palu-Poso. (Sahril)
------------------------------------------------------------
Pemerintah Diminta Proteksi Ekspor Rotan
PALU- Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah diminta untuk memproteksi ekspor maupun pengiriman rotan antarpulau, sebab dikhawatirkan saat daerah ini siap mengekspor furnitur rotan justru kekurangan bahan baku.
"Iya. Itu kekhawatiran kita, saat daerah ini sudah siap ekspor mebel rotan, kita justru akan kesulitan bahan baku," kata Nurul Ratnawati, salah seorang pengrajin industri mebel rotan di Palu, Ahad (17/4).
Dia mengatakan, ancaman akan berkurangnya pasokan rotan di daerah ini tidak saja akibat perambahan rotan untuk kebutuhan industri tetapi juga akibat dari meluasnya pembukaan lahan industri perkebunan lainnya seperti perkebunan sawit dan kakao.
Meski Sulteng masih memimpin pasar produksi rotan terbesar di Indonesia, katanya, tetapi tidak menutup kemungkinan kawasan pertumbuhan rotan akan semakin sempit dan sewaktu-waktu bisa kehabisan bahan baku.
"Sementara untuk budi daya rotan baru bisa dipanen pada usia delapan tahun," kata Nurul yang juga tenaga instruktur kerajinan rotan di SMK Negeri 5 Palu itu.
Menurut dia, negara-negara tujuan ekspor saat ini sedang menyimpan stok rotan mereka untuk beberapa puluh tahun mendatang. China, kata dia, kabarnya sudah punya stok rotan untuk 10 tahun mendatang.
"Jangan sampai industri rotan kita bangkit, kita justru minta rotan dari China," kata alumni Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarya itu. Menurut dia, bahan baku rotan anyaman di Sulteng lebih mahal dibanding di pulau Jawa.
Nurul membeli dari industri rotan seharga Rp20 ribu per kilogram. Sementara di pulau Jawa kata dia masih bekisar Rp16 ribu hingga Rp18 ribu per kilogram.
Untuk menghasilkan kualitas tinggi, kata Nurul, industri kerajinan butuh standar rotan anyaman yang tidak boleh cacat. Anyaman rotan dan rangkanya harus simetris. Dari sisi "finishing" harus halus dan keserasian warna.
"Itu sudah standar, dan untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas kami harus membeli dari industri rotan kualitas ekspor," kata Nurul.
Masalahnya, kata dia, industri mebel di Sulteng kerap kehabisan stok rotan anyaman karena industri lebih mengutamakan ekspor.
Ia memperkirakan, Sulteng baru bisa melayani permintaan ekspor sekitar 10 tahun lagi, karena saat ini sedang dalam tahap proses penciptaan tenaga kerja terampil salah satunya melalui sekolah kejuruan rotan di SMK Negeri 5 Palu.
Sementara lulusan kriya rotan dari sekolah tersebut setiap tahunnnya hanya berkisar 30-40 orang.
Tahun 2009 sekolah ini meluluskan 25 orang. Tahun 2010, 39 orang dan tahun 2011 ini sekitar 45 orang. Lulusan kriya rotan tersebut kata Nurul sudah siap pakai di industri mebel rotan.
Menurut dia, jika Sulteng baru siap melayani ekspor kerajinan maka dalam rentang waktu itu tidak sedikit rotan yang keluar dari Sulteng baik diekspor maupun diantarpulaukan. (ANTARA)
----------------------------------------------------------------------------------------
Harga Kopi Tingkat Petani Membaik
PALU - Harga kopi biji pada tingkat petani di Sulawesi Tengah saat ini semakin membaik sehingga mendorong petani bergairah merawat dan meningkatkan produksi tanaman perkebunan itu.
Pepi (47), seorang petani di Dusun Sangali, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Ahad (17/4) mengatakan, harga kopi dalam beberapa bulan terakhir ini terus membaik.
Membaiknya harga kopi biji di pasaran saat ini membuat para petani meningkatkan produksi komoditi perkebunan tersebut. Harga kopi biji di tingkat petani sekarang ini rata-rata Rp15.000,00/kg.
Menurut dia, harga itu terbilang cukup bagus dibandingkan sebelumnya hanya berkisar antara Rp11.000,00 sampai Rp12.000,00/kg.
Para petani di Dusun Sangali kini mulai bergairah lagi mengeolah kebun, karena harga kopi di pasaran semakin membaik.
Hal senada juga disampaikan Rangga, seorang petani di Desa Toposo, Kecamatan Labuan, Kabupaten Donggala. Harga kopi di tingkat petani di desa itu Rp15.000,00/kg. Itu harga pembelian pengumpul langsung di sana," katanya.
Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Sulteng Ali Landeng membenarkan harga kopi dan kakao di pasaran saat ini cukup bagus.
Misalkan harga kopi di pasaran dalam beberapa hari terakhir ini berkisar Rp15.000,00 sampai Rp16.000,00/kg. Sementara harga biji kakao kering pembelian pedagang pengumpul di Kota Palu saat ini berkisar Rp21.800,00 sampai Rp12.900,00/kg.
Pada tahun 2010, Sulteng berhasil mengekspor biji kakao ke sejumlah negara sebanyak 111.000 ton dengan menghasilkan devisa lebih dari 200 juta dolar AS.
Data Dinas Perkebunan Sulteng menyebutkan, luas areal tanaman kopi robusta di provinsi ini mencapai 10.884 hektare dengan jumlah produksi per tahunnya 7.674 ton.
Sedangkan luas areal tanaman kopi arabica di Sulteng saat ini baru sekitar 257 hektare, dan jumlah produksi 147 ton per tahun.
Sementara luas real tanaman kakao di Sulteng hingga kini mencapai 224.033 hektare, dengan produksi per tahunnya mencapai 137.851 ton. (ANTARA)
----------------------------------------------------------------