Sulteng Penghasil Kakao Terbesar di Indonesia
*DANA GERNAS KAKAO MASIH KURANG
PALU - Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sulawesi Tengah Rais Lamangkona mengatakan, Sulteng merupakan penghasil kakao terbesar di Indonesia.
"Sekitar 22,46 persen dari total produksi kakao Indonesia sebanyak 792.793 ton/tahun merupakan produksi petani Sulteng," katanya di sela-sela acara Temu Bisnis Pengembangan Industri Kakao, Senin (18/4).
Berikutnya, Sulawesi Selatan merupakan produsen kakao terbesar kedua setelah Sulteng sebesar 21,63 persen dari total produksi nasional, dan menyusul Sulawesi Barat 14,29 persen.
Ia mengatakan, kebanyakan biji kakao produksi petani Sulteng selama ini diekspor ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Meski Sulteng sebagai sentra produksi kakao terbesar, namun hingga kini ekspor biji kakao masih belum dalam bentuk fermentasi.
Akibatnya, selain harga jual di pasaran luar negeri lebih murah karena kualitasnya yang belum melalui fermentasi, juga merugikan petani di Sulteng.
Pada kesempatan tersebut, Ketua Asosiasi Kakao Fermentasi Indonesia (AKFI), Samsuddin H Halid, mengatakan, untuk meningkatkan kwalitas dan produktifitas kakao, petani harus melakukan fermentasi kakaonya. Jika tidak, meskipun produktifitasnya tinggi, namun dari segi daya jual susah bersaing.
“Kita selalu kehilangan sebesar Rp2 hingga 3 ribu dalam 1 kilo, jika kakao kita bukan kwalitas fermentasi,” katanya.
Menurutnya, selama ini petani sebagian besar sudah sadar atas pola fermentasi. Namun masih perlu didorong oleh pemerintah agar masyarakat bisa tetap meningkatkan kwalitas kakaonya.
Ia berpendapat, program Gernas sangat efektif untuk diterapkan dalam rangka membantu petani.
Dari hasil penelitian, melalui sistem peremajaan dan sambing samping maka produksi petani akan meningkat dari 600kg/hektar meningkan sampai 2.500 kg/ha. Pada tahun 2009 sebanyak 6.250 hektare lahan kakao petani yang sudah kurang berproduksi di Sulteng telah diremajakan dan direhabilitasi.
Tahun 2010 program peremajaan dan rehabilitasi tanaman kakao di Sulteng meliputi areal seluas 11.231 hektare, dan 2011 ini lebih 7.000 hektare.
Kepala Dinas Perkebunan Sulteng, Anwar Manan mengatakan, dana Gernas Kakao tahun 2011 masing sangat kurang jika dikalikan dengan jumlah luasan perkebunan kakao di Sulteng, anggaran Gernas tahun ini hanya bisa membiayai 5 persen dari luasan 225.525 hektar perkebunan di Sulteng.
Kata dia, dari alokasi yang diajukan pemerintah melalui kementrian sebesar Rp185 milyar, turun menjadi Rp65 milyar setelah melalui rapat dan persetujuan DPR.
“Memang akan berkurang anggarannya. Soalnya dibagi ke banyak wilayah. Awalnya itu hanya 4 provinsi yang dapat. Itu memang daerah penghasil. Kemudian bertambah menjadi 7, 9 hingga 25 daerah sekarang. Nah ini juga terkait politik anggaran sebenarnya,” jelasnya.
Menurutnya, jika DPR juga sudah mempunyai pemahaman yang sama untuk memajukan komoditi unggulan di daerah, tidak akan melakukan pemangkasan anggaran sebesar itu. Ia mencontohkan, Kabupaten Parigi Moutong sebagai daerah penghasil terbesar di Sulteng, hanya mendapat Rp6 milyar, dari yang diusulkan sebelumnya sebesar Rp26 milyar. (SAHRIL)
----------------------------------------------------------------------------------------
Kadis: Stok Sembako di Sulteng Aman
PALU - Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Perindagkop) Sulawesi Tengah Muh Hajir Hadde mengatakan stok sembako di seluruh kabupaten dan kota di daerah itu cukup aman.
"Tidak ada alasan masyarakat untuk khawatir, sebab persediaan sembako dan kebutuhan rumah tangga lainnya di pasaran jumlahnya memadai," katanya di sela-sela Temu Bisnis Pengembangan Industri Kakao Sulteng, Senin (18/4). Begitu pula yang ada pada pihak distributor cukup banyak.
Ia mencontohkan, khusus gula pasir dan tepung terigu yang ada di pasaran saat ini masing-masing berkisar antara 10 ribu sampai 15 ribu ton.
Khusus beras di pasar-pasar, termasuk di Kota Palu jumlahnya tidak bisa diprediksikan. Tapi stok beras yang ada di gudang Bulog Sulteng saat ini mencapai lebih 14 ribu ton.
Stok beras di Bulog, kata Hadde diperuntukan memenuhi kebutuhan masyarakat miskin, dan juga cadangan korban bencana alam.
Sebagian dari stok tersebut juga dialokasikan untuk mendukung operasi stabilisasi harga jika terjadi gejolak harga beras di pasar-pasar dalam wilayah Sulteng.
Sejauh ini, Bulog Sulteng belum melakukan operasi pasar untuk stabilisasi harga, meski semua jenis beras di tingkat pengecer harganya naik.
Memang harga beras di pasaran naik, tapi masih pada batas kewajaran sehingga tidak perlu dilakukan operasi stabilisasi harga.
"Bulog baru akan turun operasi dengan menjual sebagian stoknya, jika memang terjadi gejolak harga beras yang melebihi batas kewajaran," ujarnya.
Pantauan ANTARA di pasar Masomba, harga beras medium seperti IR-20, dan C-4 naik dari Rp5.900,00/kg, menjadi Rp6.000,00/kg. Begitu pula beras kualitas terbaik seperti monda, buri-buri, kepala, dan cimandi dari Rp7.000,00/kg, menjadi Rp7.500,00/kg.
Menurut para pedagang, kenaikan harga beras di pasar, karena harga beras di tingkat petani, dan penggilingan padi naik.
Arie, seorang pedagang beras di pasar itu, mengatakan sebelumnya harga beras di tingkat produsen di Kecamatan Palolo hanya Rp290 ribu, kini naik menjadi Rp300 ribu.
"Karena harga di tingkat produsen naik, otomatis pedagang menyesuaikan harga," katanya. Ia mengatakan, suplai beras dari sentra-sentra produksi ke pasar cukup lancar, meski harga sedikit naik.
Harga sembako lainya seperti minyak goreng tetap bertahan Rp12.000,00/kg, daging sapi Rp60.000,00/kg, gula pasir Rp11.000,00/kg. Tomat apel Rp2.000/kg, bawang merah Rp15.000,00/kg, cabe kriting Rp20.000,00/kg, dan cabe rawit Rp25 ribu/kg. (ANTARA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar