Selasa, 10 Mei 2011

Assalamualaikum


Islam Simpatik

OLEH : HS Saggaf

HS. SAGGAF ALJUFRI
Teladan kita, Nabilullah Muhammad SAW  membawa risalah Islam dalam rentang sangat singkat  hanya sekitar 23 tahun.  Namun dalam tataran kemanusiaan dan kerasulan, sejarawan dunia mengakui keberhasilan beliau. Ini karena kepribadian Rasul saw yang sempurna dan mengagumkan.
Kepribadian agung Rasulullah saw, bahkan ketika menghadapi orang yang jelas-jelas memusuhinya, namun beliau sama sekali tidak menampilkan karakteristik padang pasir yang keras dan kasar. Inilah prilaku yang seolah-olah sudah dlupakan banyak orang seperti mengaku paling Islam dan menafikan yang lain bahkan sampai mengkafirkan sesama saudaranya.
Kita perlu menampilkan Islam yang simpatik. Islam yang ramah  seperti yang dipraktekan  dua orang pemuda cerdas ini  Hasan dan Husein. Suatu ketika  cucu Rasulullah saw melihat seorang kakek yang salah dalam melakukan wudhu. Kedua pemuda ini saling memandang, lalu mereka sepakat untuk menegur sang kakek.
Seorang di antara mereka menghampiri sang kakek dan berkata, ''Wahai Bapak, saya mohon ditunjuki bagaimana cara berwudhu yang benar.'' Kakek itu mempersilakan sang pemuda melakukan wudhu. Pemuda ini melakukan wudhu dengan sempurna. Kakek itu lalu mengatakan, ''Sungguh benar cara berwudhumu dan akulah yang salah.''
Kisah tersebut adalah cermin upaya memberikan kritik yang simpatik dari seorang anak muda terhadap orang tua yang jelas jauh lebih merasakan dirinya pandai dibanding anak muda. Dalam Alquran mengkritik mestilah dengan cara yang baik. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia, (QS: 41:34).
Prinsip menegakkan kebenaran dan berpihak pada kebenaran serta menjauhi diri dari kebatilan tegas-tegas diungkapkan Alquran. Dan katakanlah, Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap, (QS: 17:81). Usaha melenyapkan kebatilan itu bisa melalui kritik. Dalam praktek kehidupan Muhammad saw kritik simpatik yang dilakukan Nabi telah berhasil membawa musuh-musuh Islam menjadi pembela-pembela Islam yang ksatria. Kasus Umar Ibn Khatab masuk Islam bisa menjadi contoh soal ini.
Dalam melakukan kritik, seorang pengkritik juga harus mengetahui temperamen dirinya sendiri, jika ia tidak mampu mengendalikan diri dalam mengkritik ia harus minta bantuan orang yang bisa menyampaikan aspirasinya dengan cara yang baik. Nabi Musa as yang dikenal memiliki temperamen suka marah, suatu ketika pernah membunuh orang kepercayaan Fir'aun yang menzalimi Bani Israil. Karena itu, ketika ia diperintah Allah mendakwahi Fir'aun, Allah mengutus seorang saudaranya yang memiliki temperamen terkendali, yaitu Nabi Harun untuk mendampinginya.
Episode ini diabadikan Alquran dengan indahnya. Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut, (QS: 20:43-44).
Fir'aun dikenal sebagai raja yang angkuh dan arogan atas kekuasaan yang dimilikinya. Karenanya, Allah memperingatkan Musa dan Harun agar dalam menghujatnya mestilah dengan cara-cara yang simpatik dan kata-kata yang bermoral. Karena cara simpatik dan bermoral itu adalah identitas manusia yang beradab.
Dari kisah dan peringatan ayat di atas patut kiranya menjadi renungan semua pihak yang saat ini yang sering  mengkritik, merasa diri yang paling benar, merasa punya kesempatan untuk mengkritik pihak lain, agar dapat memposisikan diri dengan benar. Mengkritik dengan simpatik dan bahasa-bahasa yang bermoral serta tidak terjebak pada keangkuhan, sudah selayaknya menjadi bagian hidup kita bersama. Semoga kita mau selalu mengaca diri pada kepribadian Rasulullah saw.  Wallahul Mustaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar