Minggu, 17 April 2011

REMAJA INDIE

Asyiknya Dunia Kampus!

Dalam buku 101 Things To Do Before You Graduate, Patricia Hudak dan Jullien Gordon menuliskan hal-hal seru agar para mahasiswa dapat memaksimalkan pengalaman mereka dan bersiap menghadapi dunia.

Berikut sepuluh poin yang mereka jabarkan seperti dilansir The Huffington Post.

1. Selesaikan tugas satu minggu lebih awal
Ini adalah kesempatanmu untuk menemukan atau membuat tantangan yang sangat kamu sukai dan membuatmu larut menekuninya, yaitu dengan menyelesaikan tugas kuliah sesuai dengan tenggat waktumu sendiri, bukan batas yang diberikan dosen. Kamu perlu menantang diri sendiri untuk menyelesaikan tugas dengan sangat baik, dari pada sekadar untuk mendapatkan nilai. Hasil kerja yang baik jauh lebih bernilai dibandingkan nilai, ia akan menjadi pekerjaan yang kamu banggakan di samping nilai yang pasti kamu raih.

2. Publikasikan karyamu
Banyak cara untuk memublikasikan karyamu di kampus. Kamu bisa menulis opini untuk koran kampus sebagai cara membagikan idemu tentang isu yang sedang berkembang. Kamu juga bisa menulis hasil penelitian yang kamu lakukan dengan dosenmu (lihat nomor 10). Atau kamu juga bisa menerbitkan buku. Dengan menerbitkan karyamu di media selain blogmu sendiri, akan menambah kredibilitas atas ide, pikiran, serta tulisanmu.

3. Lamar beasiswa
Banyak beasiswa tersedia untuk berbagai bidang studi jika kamu tekun mencarinya. Proses lamaranmu sendiri bernilai lebih di luar alikasimu diterima atau tidak. Menulis esai yang bisa membuatmu mendapatkan $10 ribu adalah semudah menulis semua esai yang pernah kamu buat. Kapan lagi punya kesempatan mendapatkan banyak uang dalam waktu singkat, kan?

4. Sarjana 10 kali lebih siap
Meski kamu akan siap menghadapi dunia, kamu tetap harus lulus kuliah. Ketika banyak dari teman sekelasmu kembali ke rumah, kamu akan mendapatkan hasil dari yang kamu investasikan. Dengan lulus kuliah, kamu akan membuat orangtuamu bangga. Tapi yang paling penting, kamu akan membuat dirimu bangga dengan meraih gelar sarjana dan memersiapkan dirimu menghadapi hidup dengan lebih baik.

5. Berpartisipasi dalam tradisi kampus
Beberapa kampus memiliki tradisi unik yang membedakannya dengan kampus lain, seperti kekhasan ospek tiap kampus. Jangan lupa juga tradisi lain seperti tur kampus. Kamu bisa saja tidak mengikuti ritual 'kuno' atau 'norak' itu, tapi dengan begitu, kamu tidak akan merasakan asyiknya bersenang-senang bersama teman sekampus dan menjadi bagian dari sejarah kampusmu.

6. Menjadi pemimpin organisasi kampus
Kepemimipinan kini menjadi mata uang nomor satu dalam pasar tenaga kerja. Ia lebih penting daripada nilai indeks prestasi kumulatif (IPK)-mu, fakultas atau jurusan yang kamu masuki, atau bahkan dari mana kampusmu. Masa kuliah adalah masa paling baik untuk mengembangkan sisi kepemimpinanmu karena banyak kesempatan yang bisa kamu ikuti. Misalnya dengan menjadi anggota badan eksekutif mahasiswa (BEM), himpunan mahasiswa (Hima), dan unit kegiatan mahasiswa (UKM)

7. Ikuti tur kampus
Tur kampus akan membantumu leih mengenal kampusmu dan mengajarimu hal-hal yang tidak kamu ketahui. Cari tahu tradisi kampusmu (lihat nomor 15), atau cari tahu jalan tercepat menuju kelasmu. Kampus menawarkan berbagai sumber daya dan kesempatan. Jika kamu tidak mengetahui apa yang ada di kampusmu, kamu akan kehilangan banyak hal dari biaya pendidikan yang sudah kamu bayar.

8. Hadiri kuliah umum
Dekanat atau rektorat ahli dalam mendatangkan berbagai pakar dan tokoh ke kampus. Tidak ada tempat lain di mana kamu bisa belajar langsung dari para ahli dan bertemu langsung dengan mereka selain kampus. Dengan menghadiri kuliah umum, kamu tak hanya mendapat berbagai pemikiran dari orang-orang besar tapi juga nilai lebih dari dosenmu.

9. Masuk ke ikatan alumni
Ikatan alumni adalah tempat di mana kamu bisa mengembangkan jejaring dengan para profesional dari almamatermu. Jejaring ini dapat membantumu mengembangkan sisi profesional lewat proses mentoring baik secara formal maupun informal. Selain itu, ikatan alumni dapat menjadi wadah bagi kamu yang ingin mengeksplorasi berbagai tipe karier.

10. Persiapkan ujian kelulusanmu
Seperti halnya kamu belajar ketika menghadapi ujian masuk ke perguruan tinggi, kamu juga sebaiknya mempersiapkan diri untuk ujian kelulusanmu di kampus. Dengan begitu, kamu tidak akan 'ngos-ngosan' ketika sidang kelulusan. (okezone)

-----------------------------------------------------

Sekolah Pemimpin

Oleh : Arief Kurniawan Jamal
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia


HARI itu cerah. Mentari memancarkan sinarnya di pagi yang indah itu. Pagi itu semua orang memulai hari dengan biasa, tanpa menyadari ada sesuatu yang terjadi hari itu. Surat tertanda 1 April 2011 sepanjang empat paragraf yang dilayangkan langsung dari markas FIFA di Zurich, Swiss, tampaknya akan mengubah salah satu aspek yang melekat erat pada budaya bangsa ini. Ya, hanya empat paragraf, tetapi lebih dari empat kali artikel ini untuk menjelaskan semua esensi yang ada pada surat itu.
Surat itu adalah respons dari induk sepakbola tertinggi di dunia tentang kisruh yang melanda persepakbolaan Indonesia akhir-akhir ini. Dimulai dari ketidakpuasan masyarakat pada salah satu petinggi PSSI yang berniat maju kembali pada bursa pemilihan ketua umum periode selanjutnya, kekecewaan terhadap pelaksaanaan ISL yang dinilai amburadul dan tidak sesuai dengan cita-cita FIFA dan AFF tentang kemandirian. Kisruh itu berlanjut dengan lahirnya LPI sebagai tiang sepakbola profesional, dan terakhir, gagalnya kongres PSSI yang seharusnya dilangsungkan Maret 2011.
Hal-hal itu diperparah dengan tindakan para petinggi yang terkesan membohongi publik dan bertolak belakang dengan hal-hal yang diutarakan oleh FIFA, sehingga FIFA pun berinisiatif untuk menormalkan kembali atmosfer persepakbolaan Indonesia dengan membentuk sebuah komite normalisasi.
Jika kita melihat sekilas, tampaknya masalah ini sudah selesai. Tetapi, hal ini justru mencerminkan kerapuhan dari sistem pemerintahan di negara kita. Ada apa dengan pemimpin kita?
Benar sekali. Jelas sekali terlihat, ketika pemerintah dengan segala kekuatannya menekan PSSI, tidak ada pengaruh berarti yang bisa disaksikan, walaupun pemerintah telah berupaya keras untuk itu. Amat berbeda dengan tindakan FIFA yang langsung menyelesaikan masalah ini dengan satu surat saja. Memang, banyak faktor yang memengaruhi kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan kemelut PSSI, tetapi kerapuhan adalah salah satunya. Mengapa?
Bukan hanya di bidang sepakbola. Pada kasus terakhir seperti ditahannya kapal RI oleh bajak laut Somalia pun, pemerintah seakan tidak tanggap dengan kru ABK yang semakin kritis sejak disandera hampir sebulan yang lalu. Untuk kasus pelecehan kedaulatan jangan ditanya lagi. Seakan pemerintah tidak memiliki ketegasan dalam menyikapi berbagai kasus-kasus yang bisa berdampak signifikan bahkan untuk pemerintahan itu sendiri. Salah satu bukti yang jelas bisa dilihat dalam kasus penyelesaian Ahmadiyah yang terkesan ambigu. Hal ini jelas menimbulkan kekecewaan di berbagai daerah sehingga para kepala daerah pun berinisiatif untuk membuat perda tentang pembekuan Ahmadiyah di daerahnya.
Jika kita kembali menilik masalah PSSI, kita bisa melihat, betapa kuat tekanan yang dihasilkan oleh satu asosisasi saja. Apalagi lembaga-lembaga yang memiliki kekuatan hukum yang resmi dan bersifat mengikat, khususnya badan-badan yang ada di PBB (IMF atau DK, misalnya). Jika pemerintah terus bersikap seperti ini, bukannya tidak mungkin negara ini akan dipenuhi oleh keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh asing.
Apakah negara ini sedang mengalami krisis akut tentang pemimpin? Tidak, bahkan Indonesia seakan kelebihan stok untuk pemimpin itu, dan kita bisa melihatnya dalam bursa pilkada atau pemilu di daerah masing-masing. Yang kurang hanyalah soal kepemimpinan. Indonesia kekurangan figur yang mampu mengambil ketegasan dalam bertindak tanpa harus takut dengan segala ancaman dan tekanan yang ada di sekitarnya. Kita benar-benar kekurangan figur pemimpin yang mampu berpikir jernih dalam menyelesaikan masalah-masalah rumit yang ada sekarang ini.
Dan jelas, kita ingin setiap kebijakan yang ada di negara ini dihasilkan oleh pikiran putra-putri terbaik bangsa ini, bukan hasil negosiasi oleh pemimpin luar negeri. Jika pemerintah tidak juga mau bersikap tegas dalam setiap permasalahan, bukan tidak mungkin kita harus mendirikan sebuah sekolah tentang kepemimpinan untuk mendidik para calon pemimpin yang akan menggantikan mereka di masa depan.
Jadi bagaimana, pemerintahku yang terhormat?
------------------------------------------------------


CERPEN

Layangan Putus
Oleh : Raidah Intizar


Mana orang itu? Katanya akan datang ke pameran perdana museum layang-layang, kenapa sampai sekarang belum menyusul? batinku gelisah.
Aku melancarkan pandangan mengelilingi ruangan, kudapati seorang anak kecil berlari mendekati sebuah layangan putih sederhana yang dipajang di sudut. Aku menghampiri anak itu berniat menyapanya sebelum ia bergerak gesit; ia menyentuh layang-layang putih itu dan menariknya hingga putus.
“Hei!!”
Terlambat. Layangan itu sudah putus. Ketika itu aku mendengar namaku bergaung, seseorang memanggilku, tapi orang itu tidak di sini.
***
“DI! DIDI!” jerit Tri di depan pintu sebuah rumah laksana istana.
“Dididididi…Didi!! Didididi!!!”
Merasa tidak direspon, Tri, bocah berusia sepuluh tahun yang mengenakan kaos Power Ranger kesayangannya dengan celana selutut, memutuskan paduan suara di teras rumah Didi. Tri tahu Didi paling benci suara cempreng khas Tri. Kalau Didi tidak mau keluar, seenggak-enggaknya dia melempar sandal dari jendela, lumayan buat diloakin.
Tri mendengar langkah-langkah kecil tergesa di sisi lain pintu.
“Tri!” Didi, bocah perempuan rambut kuncir dua yang paling hobi pake baju anak laki-laki itu membuka pintu.
“Hai Didi, kejar layangan putus, yuk!” tawar Tri.
“Aku ngga boleh keluar sama Mama, katanya aku nyaris gosong, maksudnya apaan sih?” Didi duduk bersila di depan pintu.
“Emangnya mama kamu ada?” tanya Tri.
Didi menggeleng, “lagi kerja,”
Tri langsung berbinar, matanya menatap langit biru tak berawan penuh bercak warna-warni yang mereka kenal namanya layangan.
“Bakal banyak yang putus nih…”
Didi ikut berbinar, hampir ngiler mamandang langit.
“Tapi terserah kamu deh, Di. Kalo kamu mau ngejar layangan, aku ikut, kalo engga, aku tetap ikut anak lain. Hehe…,” Tri garing.
Didi membayangkan Mama keluar gigi taring, matanya terbelalak merah, dan kaki rada ngambang saking marahnya karena Didi keluar. Tapi bayangan itu pudar berganti bayangan dirinya, Tri serta anak-anak lain pada mengejar layangan. Mereka memang tidak punya layang-layang, mereka sengaja itu. Punya sesuatu bukan segalanya yang bikin orang senang. Tapi mengejar sesuatu tanpa kepastian akan memilikinya atau tidak, itu menyenangkan. Biasanya, mereka hanya duduk di sisi lapangan, menunggu layangan anak lain putus lalu mengejarnya sampai dengkul berdarah-darah, kulit lecet-lecet, keseleo segala persendian. Karena layangan yang putus berarti bukan milik siapa-siapa. Jadi siapa saja yang berhasil menemukan layang-layang itu maka dia telah memilikinya, sekalipun layangan itu sudah rusak berat.
Didi dan Tri punya banyak layangan rusak. Sampai sekarang mereka berdua dianggap jagoan pengejar layangan putus, dan keduanya tidak rela gelar kehormatan itu dicopot dengan absennya mereka hari ini di lapangan.
***
Tri menyapu rumput dengan tangannya. Apa yang dia lakukan ini tidak memberi pengaruh apa-apa pada rumput, toh tanahnya tetap saja kotor. Tri lalu mempersilahkan Ndoro Didi duduk.
“Kok ngga rame sih? Anak lain pada ke mana?” Didi menjulurkan kepala ingin tahu.
“Sebenarnya nih, Di, nguber layangan udah nggak jaman! Sekarang anak-anak lain pada hobi sama gasing.”
“Asal bukan kamu aja, Tri, ntar aku kasih bogem kalo ikut-ikutan anak lain!” Didi menyinsingkan lengan bajunya.
“Ya, engga bakal, Di!” Tri mengerling anak-anak yang main layangan. Satu… tiga… enam… Kok cuma delapan orang? Biasanya sampai belasan anak.
“Eh, Di, kita ini apa sih?” tanya Tri yang dirasa Didi pertanyaannya aneh sekali.
“Pengejar layangan putus, Tolol!” jawab Didi sekenanya.
“Kamu yang tolol! Apa kamu ngga mikir, penerbang layangan makin berkurang, layangan yang putus jelas makin sedikit. Nah kita ini bakal mati satu-satu!” jelas Tri.
Didi berpikir sejenak. Kepalanya baru mencerna teori Tri dua menit kemudian.
“Iya juga ya, tumben kamu pinter.”
Daripada Tri menyela, Tri memilih diam, menatap langit dihiasi titik-titik berwarna yang sesekali bergerak mengikuti arah angin. Pemandangan itu selalu bikin Tri bersemangat. Tri yakin Didi juga begitu, sampai-sampai kulit sahabatnya ini gosong karena sering ngebela-belain lihat pemandangan di atas.
***
Di antara anak-anak pengejar layangan putus itu, mataku terpaku pada dua dari mereka, seorang anak laki-laki berkaos Power Ranger dan celana selutut, serta anak perempuan yang rambutnya kuncir dua.
Dua anak itu ngobrol seru sebelum tiba-tiba salah satunya menunjuk langit. Aku mengikuti arah telunjuknya. Dua layangan saling bertabrakan, benangnya bergesek satu sama lain. Pemilik layangan itu mengulur benang, berusaha berkelit lalu terdengar suara benang putus yang khas. Layangan kuning cerah itu putus, melayang tak tentu arah.
Spontan, para Pengejar Layangan Putus beraksi, seperti akan melakukan lari maraton, mereka mengejar layangan itu, termasuk dua anak tadi. Aku menonton penuh minat, serasa menjadi bagian dari anak-anak itu, aku menyoraki mereka… apa saja yang dapat menyalurkan semangatku yang menggebu.
“AYO! AYO!!”
Anak perempuan berambut kuncir dua menoleh padaku. Tepat saat itu kakinya berhenti mendadak dan ia terjatuh. Aku berlari hendak menolong, sebelum…
***
Syukurlah anak perempuan kuncir dua tidak apa-apa. Anak itu berdiri dan mereka berlari lagi. Begitu angin cukup reda, layangan putus mendarat di sebuah pohon yang lumayan tinggi. Anak laki-laki itu memanjat dengan gesit dan menggapai layang-layang. Wajahnya sampai lecet tergores ranting pohon. Para Pengejar Layangan Putus bersorak, aku juga, melihat layang-layang itu diusung tinggi.
Tidak lama kemudian mereka bubar. Aku berjalan tergesa menghampiri pasangan pengejar layangan putus; si Kuncir Dua dan si Power Ranger, mereka duduk di rumput dan mengagumi layangan sobek mereka, seakan-akan itu adalah mahakarya.
“Hai,” sapaku seramah mungkin.
Keduanya tersenyum padaku.
“Kalian dapat layangannya ya?” aku mengangguk pada layangan sobek. Saat itu juga aku terngiang Museum Layang-layang; pameran perdana…
“Iya nih, Kak!” ujaran mereka membantingku kembali ke tanah lapangan.
“Kakak boleh minta nggak? Buat teman kakak yang lagi sakit.”
Kening mereka mengerut, “Kok dikasih layangan?”
“Dulu, dia suka banget nguber layangan bareng kakak seperti Kalian. Kalau lihat layangan putus lagi pasti dia senang.”
Mereka berbisik-bisik menimbang cukup lama, kemudian memutuskan.
“Iya deh, Kak, semoga temen Kakak cepet sembuhnya ya,” anak perempuan itu menyerahkan layangan putus padaku.
“Terima kasih banyak. Oh iya, nama Kalian siapa?”
“Saya Ari,” si Power Ranger mengangsurkan tangannya padaku. Aku menjabatnya hangat.
“Saya Mita.”
“Nama Kakak, Didi.” Aku mengerling lutut Mita penuh arti,
“Didi, ayo!” Kudengar suara itu di telingaku, suara Tri.
“Nama teman Kakak yang sakit itu Tri,” kataku seraya kutatap wajah Ari yang lecet tergores ranting pohon.
“DIDIII!!” Suatu hantaman keras seperti terjadi tepat di belakang telingaku, hari di Museum Layang-layang itu.
“Makasih ya, Ri, Mita, Kakak ke rumah sakit dulu.” Aku bergidik sendiri dan pamit pada Ari dan Mita.
Saat aku membelakangi dua anak itu, seorang wanita tiba, wajahnya merah seperti akan meledak.
“MITAAA!!” jeritnya, “Mama sudah bilang jangan keluar rumah, kamu masih aja bandel! Kamu sudah gosong begitu! ARIII!!”
Omelan wanita itu teredam saat aku menutup pintu mobilku. Kuletakkan layangan putus berwarna kuning cerah dengan sangat hati-hati di dasbor. Lirih, kudengar suara Tri, “Menangnya sama-sama tapi ngejarnya ngga bareng, apaan tuh!”
“Ngejarnya ngga bareng…”
----------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar